DAPATKAH KAU RASA

apa yang ku tulis adalah rasaku
yang ku tuang dengan segenap hatiku
jangan kau baca dengan mata
namun bacalah dengan jiwa
aku berharap engkau mengerti rasaku

pergilah bila kau ingin...


Kamis, 26 April 2012

cinta antara


dulu engkau genggam tanganku
lantas kau tusukkan belati di dadaku
kau hunjam,kau tikam,kau robek seakan dendam
mengucur darah dan airmata pertanda luka

kini engkau kembali datang
kau rengkuh aku penuh sayang
kau peluk aku dengan tenang
hingga jiwa bagai sempurna
namun kanda...
mengapa pisaumu masih kau hunjam di dada?
tidakkah kau ingin mencabutnya?

cinta kita
antara kasih dan dusta

cinta kita
tak cukupkah hanya berdua?

cinta kita
antara aku kau dan dia...

Senin, 23 April 2012

bola salju


Pagi yang indah…

Mentari bersinar cerah hangatkan bumi.

Cahayanya menyeruak diantara dedaunan, biaskan kilau keemasan sisa embun yang bergelayut di pucuk rumput dan dedaunan.

Kupu-kupu berkejaran diantara kuntum bunga disepanjang jalan desa.

Belalangpun tak ingin ketinggalan bercengkerama diantara batang-batang padi nan menguning.

Cericit burung-burung kecil menambah riang pagi ini.

Ku susuri sepanjang jalan desa dengan langkah ringan.

Ku ayun langkah kaki menuju pematang sawah sambil tersenyum menikmati belai sang bayu yang menambah sempurnanya keelokan pagi.

Sambil bernyanyi-nyanyi kecil ku amati indahnya pemandangan pagi.

Tanpa sadar pandangan mataku tertumbuk pada sesosok tubuh mungil yang duduk termenung di sebuah dangau kecil di sudut pematang.

Gadis ayu dengan tatap mata kosong.Mengayun-ayunkan kaki yang terjuntai di tepi dangau.Tak setitikpun nampak senyum terukir di bibirnya, seakan tak mampu dilihatnya keelokan pagi ini.



Ku ayun langkah ku kesana.

“ hai “ sapaku dengan senyum yang coba ku ukir semanis yang ku punya.

“ hai kak “ jawabnya terperangah karena tak menyadari kehadiranku.

“ boleh aku duduk “ tanyaku basa basi sambil menghenyakkan tubuh di sebelah gadis itu.

“ iya kak.silahkan “ jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.

“ indah sekali pagi ini ya “ ucapku memulai pembicaraan.

Gadis ayu itu menatapku sekilas lalu mengangguk.

“ tapi sepertinya kamu tidak menikmati cuaca hari ini?” tanyaku dengan senyum dikulum.

Gadis ayu itu tak bergeming.Diam terpaku.Lalu menundukkan wajahnya dalam-dalam.

“ bicaralah bila memang kamu ingin bicara.Tapi bila tidak, lupakan saja pertanyaanku”

Pintaku dengan tulus sambil menyentuh lengannya.

Gadis itu terisak.

Aku hanya mampu menghela nafas panjang.

“ mungkin aku tak kan bisa membantumu. Tapi mungkin dengan berbagi cerita, akan sedikit mengurangi rasa sesak di dada mu.” Ujarku perlahan.

Gadis itu menyusut air matanya. Menatapku tajam.

“ apa pendapat kakak tentang sebuah poligami kak? “ tanyanya seakan menusuk ulu hatiku.

“ maksud kamu? “ tanyaku sambil tersenyum.

“ mengapa setiap ada sebuah poligami, selalu istri kedua yang disalahkan? “ ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

“ tidak semua orang berpikir seperti itu kok “ jawab ku dengan tetap mencoba tersenyum.

“ tapi hanya orang-orang bijak dan orang-orang yang luar biasa yang tidak berpikir seperti itu kak. “ ucapnya perlahan seraya menundukkan wajah dalam-dalam.

Ku genggam tanggannya lembut. Ku tatap matanya dengan harapan dapat meyakinkan hatinya.

“ lebih baik memiliki sedikit sahabat tapi mereka berpikir bijak, daripada memiliki segudang teman yang berpikir dangkal. “ ucapku perlahan tapi yakin.

Gadis itu menggenggam tanganku erat-erat. Tatap matanya bagai gelombang lautan yang berkejaran menuju pantai. Seakan begitu banyak kata yang ingin terhambur keluar dari bibirnya. Saling susul, saling tindih, hingga membuatnya nampak gugup.

Aku berusaha tersenyum dan mengangguk padanya.

Seketika dia menghambur ke dalam pelukanku dan tersedu. Aku memeluknya sambil membelai rambutnya dengan lembut. Seakan merasakan belaian seorang ibu, sedan gadis itupun akhirnya mereda.

“ terimakasih kak. Sosok ibu seakan telah hadir pada kakak untukku. “ ucapnya lembut dengan mata berkaca-kaca.

“ aku memang seorang ibu. Begitulah anakku memanggilku. “ jawabku dengan tersenyum. Mencoba sedikit bergurau untuk menghilangkan penatnya.

Dia kembali duduk menatap lurus ke depan. Dan tak lupa mengayun-ayunkan kakinya.

“ kak, bukankah cinta itu sebuah anugrah? “ tanyanya tanpa memandang ke arah ku.

“ ya, begitulah. “ jawabku sambil menghela nafas.

“ begitu pula dengan cintaku kak. Aku tak pernah meminta rasa cinta ini datang padaku. Dan saat rasa itu datang, aku tak kuasa menolaknya. Tapi sayangnya, rasa cintaku jatuh pada orang yang salah.Karena aku tak bisa memilih kepada siapa aku akan jatuh hati “ ungkapnya dengan mata kosong.

“ cinta tak pernah salah.cinta memang berbeda dengan sebuah peperangan.tapi memiliki banyak kesamaan. Tak ada yang salah dan tak ada yang benar. Seringkali terjadi tanpa mampu dihindari.penuh dengan tangis dan luka.juga dengan penderitaan.tapi ada bahagia dalam sebuah kebersamaan dan perjuangan.”ujarku dengan pandangan menerawang.

“ aku mencintai seorang laki-laki yang telah beristri kak. Dan aku akan dinikahi sebagai istri kedua. Tapi sepertinya aku tak sanggup menghadapi guncingan dan tatapan mata sinis dari semua orang.” Keluhnya perlahan.

“ hhmm…” gumamku

“ semua orang bersimpati kepada istri pertama. Yang dianggap telah berbesar hati membagi kasih sayang dengan wanita lain. Dan semua membenci istri kedua yang telah dianggap menghancurkan rumah tangga dan merebut suami orang. Tapi apakah mereka tahu apa yang dirasakan oleh istri kedua? Tak ada seorang pun yang mau tahu dan mau peduli. Betapa tersiksanya hati istri kedua saat harus menghadapi tatapan sinis dan guncingan orang. Betapa tersiksanya saat harus menjadi nomor dua dan harus mengalah. Sementara dia juga tak kuasa menolak rasa cinta yang begitu besar di hatinya. Semua orang bilang bahwa sesungguhnya tak ada satu wanitapun yang ingin dimadu.tapi adakah yang berpikir bahwa tak ada satu orangpun yang ingin menjadi nomor dua? Dan apakah ada yang pernah berpikir seperti apa sulitnya saat wanita kedua ini mencoba menolak perasaan cinta yang datang pada orang yang dianggapnya tidak tepat? Apakah ada yang memahami betapa hati wanita kedua ini begitu merasa bersalah? “ ucapnya berapi-api.

Benar dugaanku. Begitu banyak kata yang menyesak di dadanya saling lindas ingin meluncur keluar. Mereka ingin melepaskan diri dari sekapan diam si empu nya hati.



Aku mencoba tersenyum.Menghela nafas sejenak. Menghembuskan perlahan-lahan.

“ bila istri kedua dianggap salah dan jahat, maka istri pertama pun bisa menjadi salah dan jahat. Suami dan anak-anak kita adalah milik Tuhan yang dititipkan pada kita.Bukan milik kita. Sama halnya seperti harta benda kita. Sudah sepantasnya bagi kita untuk bisa saling berbagi. Bila seorang wanita tidak rela di madu, sama halnya dia memiliki makanan dan minuman yang berlimpah, tapi tidak mau berbagi dan membiarkan orang lain kelaparan di depan matanya. Apakah itu tidak salah dan jahat? “

Sejenak aku menghentikan ucapanku. Menghela nafas dan kembali menghembuskannya perlahan-lahan.

“ lalu apakah sang suami yang salah? Juga tidak. Seorang suami tidak akan pernah berpaling bila sang istri mampu bertahan membuat suaminya tetap jatuh hati kepadanya seperti dulu pertama mereka bertemu.memberikan senyum, kehangatan, perhatian, dan semua hal yang telah membuat suaminya dulu jatuh cinta kepadanya.Berarti istri pertama yang salah karena tak sanggup mempertahankan apa yang telah membuat suaminya dulu jatuh cinta? Juga tidak. Karena sang istri di tuntut untuk membagi tugas dan kasih sayang untuk suami dan anak-anak mereka. Jadi tidak mungkin bisa seperti dulu lagi. Pasti segalanya akan berkurang.” Kembali ku hentikan ucapanku untuk menghela nafas.

“ sudah ku katakan bahwa tak ada yang salah dan yang benar dalam cinta. Berhentilah bersedih. Tidak hanya engkau yang terluka. Juga tidak hanya wanita pertama yang terluka. Tapi sang suamipun akan terluka bila melihat orang-orang yang dikasihinya terluka.Karena itu tersenyumlah. Jangan kau pikirkan mereka yang memiliki pemikiran dangkal itu. Ikhlaslah dalam menjalani hidup ini. “ ucapku dengan tatapan hampa.

“ terimakasih kak. Gumamnya lirih sambil menatap mataku.

Aku tersenyum. Memeluknya erat. Lalu melangkah menjauh meninggalkannya yang telah tersenyum lembut.



Aku terus berjalan. Nyanyian kecil tak lagi mengiringi langkahku. Kepalaku di penuhi tanya jawab yang saling silang tak menentu.Tak terasa jauh sudah ku susuri pematang sawah. Hingga ku tiba di sebuah kaki bukit nan menghijau. Kusandarkan tubuhku pada sebatang pohon besar, melepas letih yang mendera. Ku tatap birunya langit yang membentang. Ku nikmati aneka ragam bentuk awan-awan putih yang bergerak bagai raksasa, lalu berubah seperti angsa, tak lama bagai gelombang, berubah dan terus berubah. Aku tersenyum. Selintas nampak burung elang terbang dengan anggun. Aku terbelalak menyaksikan ketenangan dan kegagahannya. Lalu tiba-tiba secepat kilat burung elang itu menukik menyambar seekor ular pohon yang sedang berayun di dahan. Aku terhenyak dan meneteskan air mata menyaksikan ular pohon yang meronta melawan ajal. Ku paling wajahku dan ku melihat burung-burung kecil berkicau riang. Aku kembali tersenyum. Namun beberapa detik kemudian kembali senyumku sirna saat harus menyaksikan seekor ulat yang menggeliat meregang nyawa di ujung paruh sang burung. Aku sangat lelah menyaksikan beragam cerita yang silih berganti. Semua berlalu dan berjalan tak seperti yang ku bayangkan.suka dan duka, hidup dan mati,berlalu silih berganti. Tanpa sadar ku pejamkan mata. Aku tertidur. Tertidur dalam sebuah senyuman, dengan bulir air mata yang mengalir di pipiku. Dalam mimpi aku terbang berayun. Lalu bagai sebutir kecil batu yang terjatuh dari puncak gunung es, aku meluncur turun dengan deras.berguling,bergulung,berputar,menggelinding,membesar,dan terus membesar dengan sebuah laju yang tak mampu ku kendalikan.seperti itu jiwa yang ku rasakan bergulung dengan berbagai pertanyaan dan jawaban yang saling melilit dan melingkar dengan erat. Tak mampu ku temukan jawaban. Mana yang salah dan yang benar. Mana yang indah dan mana yang bedebah. Mana suka dan mana duka.semua bergulir, bergulung, melingkar, melilit, hingga akhirnya aku merasa terhempas. Dan saat ku buka mata, kegelapan telah menjadi selimut malam. Dan aku tak tahu dimana diriku, siapa aku, siapa kamu, siapa dia, dan siapa mereka. Yang ada dalam benakku hanya sebongkah besar gulungan pertanyaan dan jawaban, yang melingkar membalut beragam cerita tanpa naskah. Aku hilang ingatan. Di sisi kelam kehidupan.