DAPATKAH KAU RASA

apa yang ku tulis adalah rasaku
yang ku tuang dengan segenap hatiku
jangan kau baca dengan mata
namun bacalah dengan jiwa
aku berharap engkau mengerti rasaku

pergilah bila kau ingin...


Jumat, 23 Oktober 2009

akhir sebuah kisah


Mentari tersenyum malu-malu di ufuk timur. Semburatkan sinar keemasan memandikan bumi dengan kehangatannya. Burung-burung berkicauan riang. Saling bersahutan bercanda ria berlompatan dari ranting ke ranting. Gemericik air sungai yang menyentuh tepi-tepi bebatuan melantunkan kidung asmara pagi. Kilau embun di atas rerumputan yang menghampar hijau sepanjang tepian sungai bak permata yang tersebar di atas permadani. Bunga-bunga beraneka warna berayun menari bersama kupu-kupu biru yang berterbangan di sekelilingnya. Kesempurnaan alam yang tiada terkira.

Nita tersenyum menyaksikan keajaiban Tuhan yang terpampang di hadapannya. Dengan senyum tetap mengembang Nita melangkahkan kaki menyusuri tepian sungai. Langkah kakinya meninggalkan jejak di sepanjang rerumputan. Tiba-tiba langkah nita terhenti. Terdengar sayu-sayup suara petikan denting gitar. Sebuah lagu yang sangat menyentuh hati mengalun tanpa lirik. Iramanya mendayu menyayat hati. Nita melangkah perlahan mendekati asal suara petikan gitar itu. Tak jauh dari tepian sungai diujung sebelah utara, ada sebuah bangku kayu yang terletak di bawah pohon rindang. Seorang laki-laki dengan tampang kusut sedang memetik gitar dengan tatapan kosong. Walaupun tak bisa disembunyikan gurat-gurat ketampanan di wajahnya, namun garis-garis kepedihanpun tak mampu pula disembunyikannya.

Nita melangkahkan kaki dengan penuh keraguan. Mendekati bangku kayu itu. Namun Nita tak berani untuk menegur ataupun menatap laki-laki itu. Nita terus melangkah melewati laki-laki itu sambil menunduk dan tanpa sepatah katapun. Nita melangkah dengan sangat hati-hati. Beberapa langkah setelah ita melewati bangku itu, suara petikan gitar itu terhenti. Nita tetap meneruskan lngkahnya.
“ Hai…..” terdengar sebuah sapaan yang halus mengelus telinga Nita.
Nita menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Laki-laki itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Nita membalas anggukan itu. Keceriaan Nita tadi pagi sepertinya sirna sudah di telan irama denting gitar yang telah menusuk hatinya. Nita merasakan kepiluan yang tiada tara.

Laki-laki itu beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Nita. Nita masih mampu menangkap kegetiran dimata laki-laki itu. Walaupun laki-laki itu telah berusaha menyembunyikan dengan senyumannya.
“ Adit….” Ucap laki-laki itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan.
“ Nita… “ Jawab nita sambil balas menjabat tangan Adit.
“ Kamu orang baru di sini…?” tanya Adit pada Nita.
“ Ya. Aku sedang berkunjung ke rumah family. Kebetulan jalan-jalan dan menemukan tempat yang sangat memukau ini.” Ucap Nita dengan mata berbinar. Nita tak mampu menyembunyikan kekagumannya pada tempat itu.
“ Ya. Tempat ini memang sangat indah. Namun juga sangat menyakitkan.” Ucap Adit sambil menghela nafas panjang dan mata menerawang.
Nita mengernyitkan kening mendengar desah Adit. Tapi Nita tak berani bertanya lebih banyak lagi. Adit kembali duduk di bangku kayu itu.
“ Nit, makasih ya. Dah mau nemenin aku ngobrol. “ ucap Adit pada Nita.
“ Ya. Sama-sama. Makasih juga ya, dah mau kenalan ma Nita.” Balas Nita.

Senja tiba malam menjelang. Entah apa gerangan yang membuat hati Nita terus memikirkan Adit. Goresan luka di mata Adit, pedihnya senyuman Adit, dan nestapa yang mengalun dari petikan gitar Adit telah mengoyak hati Nita. Nita teringat pada Iwan. Kekasihnya waktu SMA. Nita tahu. Adit pastilah masih sangat belia. Kemungkinan besar masih duduk di bangku SMU. Nita sedang berpikir apa yang sesungguhnya terjadi pada Adit. Nita tahu. Pasti tak jauh dari urusan percintaan.hhhmmm….itulah makanan ringan anak-anak remaja zaman sekarang.

Nita jadi teringat Iwan. Seorang kekasih yang tak kan pernah mampu dilupakannya. Nita menjalani masa pacaran dengan Iwan sejak kelas satu SMU. Bermula dari pertemuan di sebuah pentas musik keroncong. Iwan yang sangat piawai dalam memainkan semua jenis alat musik tertarik pada Nita. Satu-satunya penyanyi termuda di club keroncong itu. Dan Iwan sebenarnya hanyalah bintang tamu di club itu. Masa-masa manis terjalin dengan sangat indahnya. Kebetulan Nita seorang anak yatim. Begitu pula Iwan. Namun sifat mereka sangatlah jauh berbeda. Nita sangat manja. Sementara Iwan sangatlah dewasa sekali. Walaupun usia Nita dan Iwan hanya terpaut 2 tahun saja.

Waktu terus berjalan. Tahun demi tahun tak terasa 3 tahun sudah masa pacaran mereka. Tiba saatnya hari kelulusan. Iwan dan Nita merencanakan untuk melangsungkan pertunangan setelah kelulusan mereka. Itu karena orang tua Nita maupun Iwan sudah sangat setuju dengan hubungan mereka. Malah keluarga mereka sudah sangat dekat. Kebahagiaan makin membuncah di hati mereka. Tiada seharipun tanpa kebersamaan mereka. Tapi tak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi pada hidup ini. Kakak Nita menentang pertunangan mereka. Kakak Nita menginginkan Nita untuk ke Jakarta dan mengejar cita-citanya terlebih dahulu. Iwan dan Nita sebenarnya sudah sepakat untuk melangsungkan pertunangan setelah kelulusan, tapi akan menikah 5 tahun kemudian. Tapi kakak Nita tak mau menerima penjelasan mereka. Nita dipaksa pergi ke Jakarta tanpa boleh pamit pada Iwan.

Bertahun-tahun Nita dan Iwan hidup tersiksa. Nita selalu mengirim surat pada Iwan. Sesungguhnya Iwan pun selalu membalas surat Nita. Tapi kakak Nita tak pernah menyampaikan surat itu pada Nita. Nita dan Iwan sering berkomunikasi melalui telepati. sesuatu hal yang mungkin dianggap tidak mungkin bagi orang lain. Tapi karena keterikatan batin yang kuat diantara mereka, maka merekapun akhirnya tetap dapat berkomunikasi. Hingga di suatu senja Nita menerima sepucuk surat dari Iwan yang telah dibuka oleh kakak Nita. Isi surat itu sangat mengejutkan hati Nita. Iwan meminta Nita untuk melupakannya demi kebahagiaan Nita. Iwan tak ingin melihat Nita tersiksa karena cinta mereka. Nita menangis tersedu. Tak sepatah katapun dapat terucap.

Dengan tanpa pamit pada kakaknya, Nita pulang ke kampung halamannya berniat untuk menemui Iwan. Di dalam perjalanan Nita bertemu dengan bu Atun. Guru sekaligus temen Nita di club keroncong.
“ Nita..kok baru pulang sekarang..?” sapa bu Atun
“ Ada apa bu..?” tanya Nita terkejut.
“ Loh, Iwan menikahnya minggu kemaren. Kok kamu baru pulang sekarang..?”
Mendengar ucapan bu Tun, Nita bagai tersambar petir.
“ Bu…?” Nita tak sanggup berucap. Bu Tun menyadari kekeliruan ucapannya.
“ Nita, apa kamu ga dikasih kabar?” tanya bu Tun.
“ Tidak bu. Pantas saja saya ingin pulang dan ga bisa ditahan lagi.” Rintih Nita.
Sesampainya di rumah, Nita memeluk ibunya sambil menangis. Ibunya Nita hanya dapat memeluk Nita dan mengusap-usap punggung Nita dengan penuh kasih. Ibunya Nita sangat mengerti perasaan Nita.

Nita kembali ke Jakarta hari itu juga. Ibunya tak dapat mencegah kepulangannya. Nita menjalani hari-harinya dengan penuh penderitaan. Nita tak mampu menghapuskan kepedihan sekaligus rasa cintanya pada Iwan.

Tahun demi tahun terus berlalu. Nita tak ingin ada seorangpun yang menggantikan Iwan di hatinya. Hingga suatu pagi telphone di rumah Nita berdering.
“ Selamat pagi, bisa bicara dengan mba Nita..?” terdengar suara merdu di ujung telphone.
“ Ya, saya sendiri. Maaf dari mana ya?” sahut Nita dengan nada sedikit bingung.
“ Mba Nita, aku Asti. !!!“Jerit suara di ujung telphone.
“ Asti..!!” pekik Nita.
Asti adalah adik Iwan yang paling kecil. Asti sangat menyayangi Nita. Begitu pula sebaliknya. Kemanapun Nita pergi pasti mengajak Asti.
“ Mas Iwan mba…!!!” isak Asti seperti lolongan halilintar di telinga Asti.
“ Kenapa mas Iwan As..?” perasaan Nita menggelegak tak terbendung.
“ Mas Iwan meninggal karena kecelakaan seminggu yang lalu. Tapi Asti belum sanggup kasih kabar ke mba Nita.” Isak Asti makin keras.
Nita terhenyak. Tak sepatah katapun yang terucap. Nita terisak penuh kepedihan. Sementara Asti terus bercerita sambil menangis di ujung telphone. Iwan menikah ternyata hanya karena sebuah perjanjian. Gadis yang dinikahi Iwan divonis mandul. Dan Iwan menikah dengan gadis itu semata-mata hanya karena ingin membahagiakan Nita. Namun Iwan tak pernah menyangka kalau ternyata Nita tak sanggup untuk melupakan Iwan, dan hidup Nita justru semakin menderita. Iwan merasa sangat bersalah. Iwan tak mungkin menceraikan istrinya untuk kembali pada Nita. Sementara Iwan juga tak sanggup melihat penderitaan Nita.

Menurut cerita Asti, sehari sebelum Iwan meninggal karena kecelakaan, Iwan mengajak Asti berkeliling kota. Ke tempat-tempat dimana biasa Iwan dan Nita pergi berdua. Iwan bercerita pada Asti semua kenangan manis bersama Nita. Malam itu Iwan mengendarai sepeda motor untuk pergi pamitan ke rumah kakeknya. Iwan ingin menyusul Nita ke Jakarta. Tapi Tuhan berkehendak lain. Iwan meninggal dalam sebuah kecelakaan. Sampai detik ini Nita masih bertanya-tanya. Apakah Iwan meninggal murni karena kecelakaan, ataukah Iwan sengaja menabrakkan diri untuk mengakhiri hidupnya. Nita tahu Iwan sangat mencintainya. Seperti Nita juga begitu mencintai Iwan.

Pagi menjelang. Nita kembali berjalan menyusuri tepian sungai. Nita bermaksud berbagi cerita dengan Adit. Nita tak ingin melihat kepedihan di mata Adit lagi.

Kamis, 08 Oktober 2009

Bintang dan Matahari


Dengan tergesa Ratih menyambar tas sekolahnya dan berlari ke teras. Ratih tidak ingin terlambat ke sekolah. Karena hari ini adalah hari pertama Ratih masuk sekolah baru. Ratih tadinya sekolah di sebuah SLTA teladan di Jogja. Namun karena sesuatu dan lain hal, Ratih terpaksa pindah sekolah ke Jakarta.

Sesampainya di sekolah Ratih menemui bapak kepala sekolah. Ratih diantar masuk kelas oleh bapak kepala sekolah.
“ selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan seorang teman baru pindahan dari Jogja. Namanya Ratih. Bapak harap kalian bisa bekerja sama dengan Ratih.”
Bapak guru mengenalkan Ratih pada seisi kelas.
“ Ratih, kamu boleh duduk di bangku kosong itu.” Ucap pak Guru pada Ratih, sambil menunjuk sebuah bangku kosong.
“ Baik pak.” Jawab Ratih sambil berjalan menuju bangku kosong yang ditunjuk oleh pak guru.
“ Hai, saya Bayu.” Sapa cowok yang duduk di sebelah bangku kosong tersebut sambil mengulurkan tangan dan tersenyum pada Ratih.
“ Hai, saya Ratih.” Balas Ratih sambil mengulurkan tangan pula.
Ratih mengakhiri hari pertamanya di sekolah dengan baik.

Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan berjalan dengan baik. Namun sesungguhnya ada sesuatu yang berusaha disembunyikan Ratih.
Siang itu Ratih berjalan pulang sekolah bersama Bayu menyusuri sepanjang jalan yang diteduhi oleh pohon-pohon mahoni. Sama seperti bulan-bulan dan hari-hari sebelumnya.
“ Ratih, sudah beberapa bulan kamu sekolah di sini. Sudah beberapa bulan juga kamu duduk sebangku sama aku. Tapi aku tak pernah tahu apa-apa tentang kamu. Kamu selalu menutup diri dan menghindari pembicaraan tentang diri kamu. Kenapa..? apa kamu ga percaya sama aku tih..? Tanya Bayu dengan tatap penuh tanda tanya.
Ratih tergagap. “ Bayu, maafkan aku. Bukan karena itu. Tapi aku memang agak sulit untuk bercerita. “ Jawab Ratih lirih.

Ratih pindah sekolah ke Jakarta memang bukan tanpa sebab. Ratih hampir diperkosa oleh kekasihnya. Cowok yang sangat dicintai dan dipercayainya selama ini, ternyata bukanlah cowok yang baik. Dan Ratih tak kuasa untuk terus bertemu dengan cowok itu. Karena Ratih sangat kecewa.
Berbeda dengan Bayu. Bayu sangat santun dan begitu peduli dengan Ratih. Tapi Ratih tahu. Bayu telah memiliki seorang kekasih.

Beberapa bulan bersama Bayu setiap saat mulai mengobati rasa sakit Ratih. Canda tawa Bayu, gurauan-gurauan Bayu, juga kepedulian Bayu telah sedikit menghapus kebencian Ratih pada cowok. Dan tanpa disadarinya, Ratih mulai jatuh cinta pada Bayu. Ratih sadar tak mungkin mengungkapkan rasa cintanya pada Bayu, atau untuk menunjukkannya pun tak mungkin. Ratih mengerti jurang yang memisahkan mereka. Bayu telah memiliki seorang kekasih. Dan antara Bayu dan Ratihpun berbeda agama. Menyadari semua itu, Ratih hanya mampu menuangkan rasa cintanya lewat puisi-puisi yang ditulis dan disimpannya sendiri.

Ratih berusaha menghapus rasa cintanya pada Bayu. Ratih ingin menjadi sahabat sejati Bayu. Tapi Ratih tak kuasa mengubur perasaan itu. Ratih sangat tersiksa dengan perasaannya. Setiap kali berdekatan dan bercanda dengan Bayu, ada bahagia yang mengalir di lubuk hati Ratih. Ratih merasakan satu kedamaian yang tak pernah dimengertinya. Suatu rasa yang belum pernah dirasakannya selama ini. Saat bersama kekasihnya dulu sekalipun.

Bel sekolah berdentang. Semua siswa bergegas mengemasi tas dan menghambur keluar kelas. Ratih terlihat belum bangkit dari tempat duduknya.
“ Ratih, ayo pulang..” terdengar suara Bayu membuyarkan lamunan Ratih.
“ eehhmm, kamu duluan aja deh .” Jawab Ratih lirih.
“ kenapa..? tanya Bayu heran.
“ sebentar lagi aku pulangnya.” Jawab Ratih sekenanya.
Bayu dapat merasakan kegalauan hati Ratih. Di genggamnya jemari Ratih sambil tersenyum.
“ kita ngobrol di taman belakang aja ya.” Ajaknya sembari menggandeng tangan Ratih tanpa menunggu jawaban dari Ratih.

Sesampainya di taman belakang, mereka hanya duduk saling pandang tanpa sepatah kata.
“ ayo cerita, ada apa sebenarnya..?” tanya Bayu memecah kebisuan mereka.
“ ga ada apa-apa kok.” Jawab Ratih sambil tersenyum.
“ Ratih, kenapa kamu begitu tertutup..? ga bagus lagi..cobalah untuk berbagi dengan orang lain.” Ucap Bayu perlahan sambil kembali menggenggam jemari Ratih. Jantung Ratih serasa berhenti berdetak. Ada kegalauan yang tak bisa dimengertinya.
Ratih mengeluarkan kertas gambar dan mulai mencoret-coret untuk menghilangkan keresahannya. Bayu memperhatikan kertas gambar Ratih.
“ hhhhhmmm…Ratih, kok aneh…masa gambar bintang dan matahari..? emang bisa ada bintang sekaligus ada matahari..? tanya Bayu dengan gurauan. Ratih hanya tertawa menanggapi celetuk Bayu.

Selesai mengerjakan tugas sekolah, Ratih duduk merenung di bangku kayu di teras rumahnya. Kebetulan malam sangat cerah. Penuh dengan bintang bertaburan. Walau bulan hanya nampak separo.
“ Bintang…engkau hadir menerangi gelap malamku. Namun engkau terlalu tinggi untuk mampu kusentuh.” Gumam Ratih sambil menengadah ke langit. Tangannya terulur seakan ingin menjangkau bintang diatas sana. Bibirnya tersenyum. Setelah akhirnya senyum menghilang dari balik bibirnya. Ratih memejamkan mata. Dan malam ini Ratih tertidur di teras.

Rasa dingin terasa merambati tubuh Ratih. Ratih menggeliat. Terkejut mendapati dirinya tertidur di bangku kayu. Ratih menghela nafas panjang dan memandang ke langit. Semburat keemasan mulai merona diufuk timur. Ratih memandang bintang yang warnanya mulai memudar. Ratih terus memperhatikan bintang itu. Hingga akhirnya mentari menampakkan senyumnya. Dan sang bintang menghilang terbias oleh sinar mentari.
“ Bayu, memang bintang dan matahari tak kan mungkin bisa berdampingan. “ Gumam Ratih dengan hati yang sangat pedih.

Bayu bersiul-siul memasuki ruang kelas. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Bayu mengernyitkan kening.
“ Ga biasanya Ratih jam segini belum datang..” gumamnya.
Bayu meneruskan langkah menuju meja. Menghenyakkan pantat di kursi dan melempar tas kedalam laci. Tapi Bayu merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam lacinya. Bayu kembali menarik tasnya dari dalam laci. Tanpa sengaja terjatuh gulungan kertas. Bayu memungut dan membukanya. Bayu terkejut. Lukisan bintang dan matahari milik Ratih. Tangan Bayu mulai gemetar. Perasaannya tidak menentu. Bayu meraba ke dalam lacinya dan tangannya menemukan sebuah buku. Bayu dengan cepat membuka buku itu. Bayu berlari ke taman belakang sekolahnya. Bayu mulai membaca buku yang ternyata berisi puisi-puisi tulisan Ratih. Bayu menghela nafas. Menutup buku dan memasukkan ke dalam tasnya. Bayu berlari meninggalkan sekolah menuju rumah Ratih.

Bayu menekan bel rumah Ratih. Seorang pembantu rumah tangga muncul.
“ eh, mas Bayu…ada apa mas..?” tanyanya.
“ Ratih ada bi…? Tanya Bayu dengan tergesa.
“ loh, bukannya mbak Ratih pergi mas..? emang ga bilang sama mas Bayu..? tanyanya penuh dengan keheranan.
“ pergi kemana bi…? Tanya Bayu panik.
Tiba-tiba dari dalam rumah muncul seorang wanita separuh baya.
“ Pagi Bayu…” sapa wanita yang ternyata mamanya Ratih.
“ Pagi tante… Ratih kemana tante..?” Bayu tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.
“ Ratih berpesan untuk tidak memberitahukan kemana dia pergi. Tapi dia meninggalkan ini untuk kamu Bayu…” jawab mamanya Ratih dengan suara lirih dan wajah tertunduk. Kepiluan begitu jelas terlukis di matanya.
“ terimakasih tante..permisi…” pamit Bayu sambil menerima surat dari Ratih.

Bayu berlalu meninggalkan rumah Ratih menuju taman yang terletak di tengah kota. Bayu mulai membaca surat dari Ratih. Airmatanya tak dapat di bendungnya. Ratih pergi membawa cintanya pada Bayu. Dan Bayu tak tahu Ratih pergi kemana.
“ Ratih…cinta tak harus memiliki. Apa kamu tahu kalau sebenarnya aku juga sangat mencintaimu..? tapi keadaan tak memungkinkan kita untuk bersatu. Aku sekarang mengerti makna dari lukisanmu. Itu adalah gambaran diri kita. Tapi kenapa kamu harus pergi..? kenapa tak kau biarkan aku hadir di setiap malammu, menerangi gelapnya hatimu, walau saat mentari terbit aku harus pergi dan menghilang. Bukankah besok malam aku akan kembali hadir untukmu Ratih…? Kenapa tak kita jalani hidup kita bagai aliran air…? Ratih…aku ingin engkau tetap di sini bersamaku. Saling mengerti hati dan cinta kita…walau kita tak mungkin bersatu. Tapi kita tetap bisa saling berbagi.” Rintih Bayu sambil melipat surat dari Ratih.

Bayu meninggalkan taman dan berjalan gontai tanpa tujuan. Bayu menyesal tak pernah mengungkapkan perasaannya pada Ratih.



Senin, 05 Oktober 2009

sepenggal kisah


Pagi berkabut.Kokok ayam jantan saling bersahutan.Di sebuah dusun yang masih begitu terbelakang, hidup sebuah keluarga besar yang terlihat cukup bahagia.Tiada seorangpun yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi di dalam rumah itu.Ternyata banyak hal yang sesungguhnya sangat menyakitkan disana.

Seorang ayah dengan seorang istri yang cantik dan sangat lembut.Seorang istri yang sangat mencintai suami dan keluarganya.Mereka telah dikarunia 7 orang anak.Yaitu 3 orang putra dan 4 orang putri.Hal yang mampu ku ingat adalah; Seorang ayah yang bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Dia bekerja di kota yang sangat jauh dari dusun itu.Oleh sebab itu sang suami hanya pulang 1 minggu sekali pada hari jum’at sore atau sabtu sore.dan harus kembali ke kota pada jam 3 dini hari pada hari seninnya.Sementara sang istri harus berjuang seorang diri mengurus rumah tangga dengan 7 orang anak tanpa seorang pembantupun.

Suatu hari pernah ku dengar sebuah gossip bahwa pasangan suami istri tersebut kawin lari.Orang tua dari gadis cantik itu tak mengijinkan anaknya menikah dengan seorang laki-laki pemain wayang orang yang miskin dan punya banyak saudara.Karena gadis cantik itu adalah anak tunggal dari sebuah keluarga kaya.Selain itu si lelaki terkenal suka main perempuan dan berjudi.Namun ternyata cinta sang gadis tak dapat dihalangi.Sehingga mereka terpaksa kawin lari.Begitulah kurang lebih awal mula terciptanya keluarga besar itu.

Diantara 7 orang anak mereka, Ada satu orang anak perempuan mereka yang sangat rentan.Yaitu anak kelima mereka.Anak ini sangat sensitif dalam segala hal.Baik fisik maupun mentalnya.Sangat mudah sakit, sangat mudah tersinggung, dia tidak pernah menangis layaknya anak-anak sebayanya.Bila ada yang menyakitinya, dia hanya meneteskan air mata tanpa suara.bahkan tanpa isak tangis.Mungkin karena sebab itulah maka gadis cilik itu menjadi anak kesayangan dikeluarga itu.

Setiap sore diakhir minggu, gadis kecil itu telah berdandan rapi menunggu papanya pulang. Dia berdiri di ujung jalan desa sambil matanya menatap ke kejauhan.Begitu tampak sosok papanya di kejauhan, dia berlari menyongsong sambil membentangkan kedua tangannya.Sang papa juga membentangkan kedua tangannya sambil tertawa.Setelah berpelukan sang papa lantas memanggul gadis mungil itu di bahunya.Mereka tertawa lepas penuh dengan kebahagiaan.Sesampainya mereka di rumah, sang mama pasti akan tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ Dik, papa kan cape. “ ucapnya lembut.
Gadis kecil itu pasti langsung memberengut, dan sang papa akan segera mengacak-acak rambut si gadis kecil.Setelah itu mereka lantas akan tertawa bersama-sama.
Saudara-saudara gadis kecil itu akan mencibir dan berteriak
“ Hu……..dasar anak manja ! jangan dikolokin dong ma, pa !!!”
“ Engkau bagaikan seorang putri….selalu di manja dan disayangi…!!!”
salah seorang dari mereka bersenandung mengolok-olok.”
“ bagaimana kalau mulai hari ini kita panggil putri aja…?”
saudara yang lain ikut mengolok-olok.

Lalu mereka akan serentak mengejar gadis kecil itu untuk di gelitikin.Suasana menjadi sangat ramai dikeluarga besar itu.Sungguh keluarga yang sangat bahagia yang terlihat oleh orang-orang di sekitar tempat itu.

Ternyata hidup tak semulus keinginan hati.Semakin hari gossip-gosip buruk mulai tersebar diseluruh pelosok desa itu.
”Sang suami punya istri simpanan.”
Itu kabar yang sangat menghebohkan seluruh orang.
Tapi beberapa orang mencibir dan bergumam,
“ Bukankah dari dulu Herman tukang judi dan tukang main perempuan? Bodohnya Widya saja mau menikah dengan dia, sampai-sampai dibela-belain kawin lari.”

Mendengar berita-berita miring itu si gadis kecil mendekati mamanya dengan takut-takut.Matanya berkaca-kaca, bibirnya komat kamit seakan ingin mengatakan sesuatu.
“ Kenapa dik? Adik mau ngomong apa sama mama?”
tanya sang mama sambil tangannya meraih kepala mungil itu dengan penuh bijak.
” Ma, orang-orang bilang papa menikah lagi ya ma. Terus orang-orang juga bilang kalau May adalah anak pungut.”
Tanya gadis kecil itu dengan suara dan bibir bergetar.
” May, kamu harus percaya sama mama dan papa.Seandainya memang betul papa menikah lagi, dan kamu adalah anak pungut kami, apakah kamu akan pergi meninggalkan kami May? Apakah kasih sayang mama, papa dan saudara-saudara kamu masih belum cukup untuk menjadikanmu bagian dari keluarga ini?
Gadis kecil yang ternyata bernama May itu terisak. Ini adalah saat pertama kali dia mampu terisak.May menubruk tubuh mamanya.Memeluknya erat-erat seakan tak kan pernah melepaskannya lagi.

Hari demi hari berlalu tanpa pertanyaan itu lagi.Rutinitas berjalan seperti biasa.May selalu mendengarkan cerita papanya setiap malam minggu sebelum tidur.May juga tak pernah mau tidur sebelum papanya mendendangkan sebuah lagu untuknya.Lagu-lagu daerah yang merdu mendayu mengantarkan tidur May dalam sebuah senyuman.Kadangkala sang papa juga meniupkan seruling bambu untuk May.Dan May sangat menyukai itu.May juga menyukai semua cerita-cerita papanya.Cerita tentang Seekor Belalang yang sangat pelit, cerita tentang Seorang Anak Tiri yang disia-siakan oleh ibu tirinya, cerita Tentang ayam jago yang berkokok setiap pagi, bahkan cerita tentang asal-usul semua binatang.

Hari demi hari berjalan seperti biasa.Tidak ada sesuatu yang istimewa.Keluarga itu melakukan aktifitas tanpa terlihat ada sesuatu masalah apapun juga.

Di suatu malam minggu, tiba-tiba datang beberapa pemuda berduyun-duyun menggotong seseorang.Mereka berteriak-teriak memanggil mamanya May.
“Mama May! Budy kecelakaan!
Mamanya May sangat terkejut.
“Kenapa Budy?”
Teriaknya histeris.
“Budy cidera parah saat bermain bola!”
Semua orang panik.Budy masih belum juga sadar.
Papanya May sedang tidak ada dirumah.
Semua tetangga bertanya pada mamanya May tentang keberadaan papanya May.
“Papanya May sedang bermain judi.”
Jawab mamanya May lirih.

Beberapa orang telah berusaha membujuk papa May untuk pulang.Tapi papanya May tidak bergeming.Dia terus melanjutkan permainan judinya seolah-olah tak perduli dengan kondisi anaknya.Sementara kondisi Budy belum juga siuman dan wajahnya semakin pucat.Mamanya May hanya bisa menangis tanpa daya.Beberapa saudara May juga berusaha membujuk papanya May untuk pulang.Namun papanya May tetap tak beranjak dari arena perjudiannya.Melihat kepedihan dimata mamanya, May berlari ketengah kegelapan malam.Semua orang berteriak memanggilnya.Mereka berusaha mengejar May.Tapi May berlari dan terus berlari.Dia tak memperdulikan kerikil-kerikil tajam yang melukai kakinya yang tanpa alas kaki.

Setelah beberapa saat berlari, May sampai di arena perjudian tempat papanya bermain judi.Dia berdiri dengan nafas tersengal-sengal.Tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya, dia menatap tajam mata papanya.Melihat kehadirannya putrinya, sipapa akhirnya bangkit juga dari tempat duduknya.Melihat papanya bangkit, May berlari pulang.Tiada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya.Sesampainya dirumah May langsung duduk dipinggir tempat tidur Budy.May memandangi wajah Budy yang nampak pucat.Tangan May bergerak menyentuh jari jemari Budy.May menggenggam tangan Budy erat-erat.Semua orang hanya memandang May tanpa berani berkata-kata.Mamanya May mendekati May dan merengkuh kepala mungil itu.Mencium keningnya dengan derai airmata yang semakin deras.

Tak lama kemudian papanya May pulang.Dia sedikit terhenyak menyaksikan pemandangan di depan matanya.Tetapi dia berusaha mengendalikan perasaannya.Dia mengangkat tubuh Budy tanpa berkata apa-apa.Menggendongnya menuju kegelapan malam.Beberapa orang menawarkan untuk membantu.Tapi Dia tak bergeming.Dia berjalan menuju rumah tabib yang sangat jauh dari rumahnya.Seluruh keluarganya mengikutinya dari belakang.Beberapa orang tetangga ikut serta.

Budy telah sembuh.Dan aktifitas di rumah itu telah berjalan seperti sedia kala.Namun ada luka yang sangat dalam menoreh di lubuk hati May.Bergejolak dalam hati May bahwa dia memiliki Mama yang begitu cantik, baik, begitu menyayangi papanya, juga semua anak-anak mama.Tapi kenapa papa tega berbuat seperti itu pada mama?Papa punya istri simpanan, suka berjudi, dan seakan tak pernah perduli pada mamanya.May begitu marah pada mamanya.Kenapa mamanya selalu membela papanya? Setelah apa yang diperbuat papanya pada mamanya.Mama tak pernah marah ataupun menegur papa.May berpikir, alangkah jahatnya seorang laki-laki.Dan sejak kejadian itu, May tak pernah lagi menunggu sang papa di ujung jalan desa.

Sore itu seperti sabtu sore sebelum dan sebelumnya.Semua hal terjadi seperti biasanya.Namun malam itu tiba-tiba sang papa bercerita pada May tentang kakek dan nenek May.Tentang masa-masa kecil sang papa, tentang kenakalan-kenakalan sang papa, juga tentang bagaimana sang papa kalau marah pura-pura mati dan baru bangun kalau dimasakin telur ceplok.May tertawa ceria mentertawakan ulah papanya.Tak lupa sang papa mengajak May bermain film bayangan.Mereka membuat bentuk-bentuk binatang dengan tangan dan kaki mereka melalui bayangan dari lampu teplok yang terpantul di dinding.May seakan melupakan kebencian pada papanya.

Sang papa terdiam sejenak diantara tawa.Lalu dia berkata pada May.
“Waktu kakek dan nenek kamu meninggal, papa dan semua saudara papa tidak ada yang menangis.“
“Takut dosa ya pa? Kan dalam agama kita dilarang menangisi orang yang sudah meninggal kan pa?”
Celoteh May.
”Iya sayang.Lagi pula kalau kita meninggal, dan orang yang kita tinggalkan terus bersedih dan menangis, orang yang meninggal tidak akan tenang di atas sana.”
Ujar sang papa sambil mencium kening May.
May terdiam.Dia menatap mata papanya tajam-tajam.
”May berjanji pa.Kalau ada ang ota keluarga kita yang meninggal, May tak akan menangis.”
Kata May dengan mimik serius dan penuh dengan keyakinan.
”Masa sih anak papa yang cengeng ini bisa berbuat begitu?”
Goda sang papa sambil mencubit hidung May.
”May janji pa !!”
Rengek May.
”Itu baru anak papa. Anak papa tidak boleh cengeng ya.”
Kata sang papa sambil memeluk May erat-erat.

Satu minggu telah berlalu sejak percakapan itu.
Minggu tgl 09 Maret 1986.Mama May dan Papa May sedang memetik buah kedondong untuk dijual kepasar besok pagi.
“ Jangan banyak-banyak pa.Besok mama ga kuat gendongnya.”
Ucap mamanya May.
“Besok papa anterin ma.”
Jawab papanya May.
“Kan besok papa harus berangkat ke kota pagi-pagi pa?”
Tanya mama May dengan penuh rasa heran.
“Kita lihat besok sajalah ma.”
Jawab papanya May sambil lalu.

“Bangun pa.Sudah waktunya berangkat ke kota.”
Suara mamanya May terdengar samar-samar di pagi buta.
“Aku ga mau berangkat kerja ma.”
Jawab papa May sambil menggeliat.
“Papa sakit?”
Mamanya May bertanya dengan suara cemas.
“Ga.Cuma lagi malas.”
Setelah percakapan itu mereka kembali memejamkan mata.

Subuh datang.Seluruh keluarga beraktifitas.Papa dan mama May pergi kepasar.Anak-anak mereka pergi sekolah.Kecuali Wiwit.Anak ke empat dari keluarga itu masuk sekolah siang.

Tok-tok-tok.Terdengar suara ketukan dipintu ruang kelas May.Ibu guru May melangkah mendekati pintu kelas.Setelah pintu dibuka, ternyata bapak kepala sekolah.
“Bu, mau minta ijin.May dijemput pulang oleh saudaranya.Papanya sakit.”
Ujar bapak kepala sekolah.
Mendengar itu, May serasa disambar petir.Sesuatu pasti terjadi.Bisik batin May.Keluarga May sangat keras.Tak mungkin hanya karena papanya sakit, May dijemput pulang.May mengemasi tas dan buku-bukunya.Pikirannya kalut.Begitu keluar dari kelas, May berlari pulang sekencang-kencangnya.Dan ternyata dugaan May benar.Rumah May telah penuh orang yang menangis meraung-raung.Beberapa kerabat berlari kearah May dan memeluk May erat-erat.May menjatuhkan tasnya.

“Papamu May.”
Isak salah seorang kerabat May.
May belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi.May melangkah perlahan-lahan dengan mata nanar melihat sekeliling.Semua orang menjerit, menangis, dan terisak.Disudut ruangan May melihat mba Wiwit sedang histeris.Dia memukul-mukul kepalanya dengan tangan.Menjambak rambutnya keras-keras.Lalu membenturkan kepalanya ke Tiang kayu penyangga rumah.

Begitu melihat May datang, mba Wiwit berlari kearah May.Dia menubruk tubuh mungil May, hingga May surut beberapa langkah kebelakang.
“May, papa meninggal!!!”
Lengkingan suara mba Wiwit bagai halilintar yang menghantam gendang telinga May.Lutut May lemas seketika.

Orang-orang yang histeris berkerumun ditengah ruangan tiba-tiba menyingkir begitu mendengar teriakan mba Wiwit.Dan seketika May melihat sosok yang terbujur diatas dipan tertutup kain panjang.Jantung May seakan terlepas dari tempatnya.Bumi tempat May berpijak seolah-olah berguncang.May limbung.Tangannya mengepal kuat-kuat.

Perlahan May berjalan menghampiri sosok yang terbujur itu.Seorang kerabat menyingkap kain penutupnya.May terhenyak.Lututnya tak lagi mampu menahan berat tubuhnya yang sesungguhnya sangat mungil itu.May terduduk.Seakan ada yang melayang dari tubuhnya.Dilihatnya wajah sang papa yang tersenyum pucat.Kedua lubang hidungnya disumbat dengan kapas.Matanya tertutup rapat.Dan kepalanya diikat dengan sehelai selendang batik berwarna hijau.Dada May sesak.May ingin menangis.Tapi tiba-tiba seakan terngiang ditelinga May, janji May pada papanya.

Tujuh hari telah berlalu sejak kepergian papanya May.Kepedihan menyelimuti keluarga besar itu.Mamanya May terus menangis dan jatuh pingsan.Sampai hari ketujuh mama May masih belum mampu menengok makam suaminya.Setiap kali baru tersadar dari pingsannya, mama May kembali menjerit dan jatuh pingsan.Tak sebutir nasipun yang bisa mengisi lambungnya.Mama May bagaikan mayat hidup.

May hanya mampu menatap perih pada sosok sang mama.Inikah yang dinamakan cinta?Batin May bertanya-tanya.Luka yang ditorehkan papa selama ini ternyata tak mampu mengoyak kebesaran cinta mama.
” Mama, sanggupkah aku seperti dirimu yang begitu agung?”
Bisik May lirih.

Tahun demi tahun terus berjalan.May menjalani hidupnya dengan kemurungan.Kakaknya satu demi satu harus pergi ke kota meninggalkan keluarga.Mereka dengan sangat terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya.Keluarga besar itu seolah-olah telah mati.Jiwa mereka seakan ikut pergi dengan tiang keluarga mereka.Mama May merenung setiap hari.May pun seringkali enggan untuk pulang.

Diantara kemurungannya, May tetap tak ingin mengecewakan orang tuanya.May selalu berprestasi di sekolah maupun di lingkungannya.May selalu mengikuti berbagai macam lomba dan kegiatan baik di sekolah maupun dilingkungan masyarakatnya.May ingin mengisi seluruh hari-harinya dengan kesibukan.May tak ingin diam termenung.

Namun seringkali May menangis di kamarnya saat malam menjelang.Dia selalu berandai-andai.May merasa sendirian.Mamanya terlalu larut dalam kesedihannya.May merasakan betapa beratnya hidup ini.May lelah.

Minggu, 04 Oktober 2009

lelah bersamamu



Senja ini aku menggigil
Menelusuri jalan-jalan yang riuh
Oleh hiruk pikuk dan lalu lalang
Melangkahkan kaki tanpa tujuan.

Hati ini begitu sepi
Tanpa suara dan nyanyian alam

Ku pikir hati ini telah membeku
Tak kan mampu kau robek dengan dustamu
Setelah sekian lama kau sakiti aku
Namun ternyata nyeri masih mampu kurasa
Saat ku tahu kau masih saja berdusta

Sampai kapan kan kau lakukan itu..?
Sampai kapan kan kau dustai aku…?
Ku tak berharap banyak darimu
Ku hanya memohon mengertilah
Bahwa aku masih punya hati

Diamku selama ini
Bukan berarti ku tak tahu dustamu
Tapi aku hanya mencoba mengerti
Bila cintamu bukanlah untukku
Tapi adakah kau mengerti…?
Sakit ini begitu menyiksaku

Haruskah aku…
mendengar kemesraan itu dari bibirmu….?
Haruskah aku ….
Mendengar dongeng kerinduanmu padanya….?
Apakah kau berpikir
bahwa aku sebongkah batu..?

kau tak membiarkanku pergi
tapi kau sayatkan sembilu di nadiku
tapi kau hunjamkan belati di jantungku
setiap detik dan setiap waktu

kau tak membiarkanku bernafas sedetikpun.

dan aku lelah bersamamu……

Jumat, 02 Oktober 2009

tak berpenghuni


Aku ladang gersang tak berpenghuni
Dihampar ilalang kebencian
Diserak koral kepingan hati yang terserpih
Berpagar rumpun dendam yang membara

Terlalu tandus untuk kau huni
Terlalu nyeri untuk kau pijak
Dan aku mengerti keenggananmu

Tanganku terlalu lemah
untuk menggapai kerasnya hatimu
Jari jemariku terlalu rapuh
untuk mampu membelai angkuhmu

Airmataku tak cukup banyak
untuk dapat menjadi telaga hatimu
Kasih sayangku tak cukup luas
untuk dapat menampung ceritamu
Pengertianku tak cukup besar
untuk dapat mendayung langkahmu

Biarkan kikisan derita menggerus jiwaku
melongsorkan sisa-sisa hatiku
dan meninggalkan kerangka tubuhku
dalam seonggok sampah nista
yang kotor dan tak berbentuk

Biarkan kerasnya hatimu
menghimpit nyeri di dadaku
melindas dan meremas jantungku
meninggalkan sakit yang tak mampu ku sangga

Dan kini ku tergolek tanpa daya
Menunggu taqdir yang kan datang
pada putaran berikutnya

mimpi yang terwujud


Peri-peri kecil
terbang menari mengelilingiku
Ayunkan tongkat kecilnya
mengubahku menjadi peri cantik bersayap ungu

Peri-peri kecil mengajakku
terbang menembus angin
menuju telaga teduh
berpagar hijaunya pohon bambu
Tempat ku biasa menyentuh
dinginnya hatimu

Peri-peri kecil mengajakku
terbang berputar
mengelilingi taman depan kantorku
ke bangku kayu tempat aku menunggumu
disetiap senja
diantara hamparan mawar kuning
dan air mancur yang menari

Peri-peri kecil mengajakku berkelana
ke hamparan sawah di pinggir desa
tempat aku mengejar belalang
dan kupu-kupu biru bersamamu

Peri-peri kecil mengajakku singgah
ke dangau kecil di tengah sawah
tempat kau meniupkan seruling untukku
dan membiarkanku tertidur di pangkuanmu

Peri-peri kecil mengajakku
menyusuri sungai
yang terhampar rumput hijau di sepanjang tepi
tempat kumenunggu keputusanmu
sebelum kau ucapkan selamat tinggal

Peri-peri kecil
Menangkapkan seekor kupu-kupu biru
dan menyematkan
sekuntum mawar kuning di rambutku
seperti kau sematkan kepadaku waktu itu
sebelum hari kita terpisah

Peri-peri kecil mengajakku
terbang menembus awan putih
ke tempat pelangi kesayanganku
bermain diantara indahnya rangkaian warna
hingga senja tiba

Peri-peri kecil mengajakku
terbang menembus kegelapan malam
menuju selarik cahaya keemasan
tempat sekumpulan jutaan kunang-kunang
yang menyambutku dengan gempita

Peri-peri kecil dan kunang-kunang
mengantarku menembus langit
menghampiri bintang hatiku
yang tak pernah mampu kusentuh

Aku tersenyum
Ulurkan jari jemariku
pada peri-peri kecil
dan berbisik

‘ peri-peri kecil ………
terimakasih t’lah kau wujudkan semua mimpiku
kini ku ingin “PULANG” dengan senyuman “